
Kemendag: Dunia Sedang Krisis, Indonesia Harus Bersikap Bijak
Bisnis Online Tanpa Modal — Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyampaikan peringatan tegas bahwa situasi perekonomian global saat ini tengah mengalami tekanan besar. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Internasional Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag, Olvy Andrianita, dalam peluncuran Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan 2025 di Auditorium CSIS, Jakarta Pusat.
“Indonesia dan negara lainnya tengah menghadapi kondisi dunia yang saat ini sedang tidak baik-baik saja,” ujar Olvy.
Olvy menyoroti bahwa dunia telah bergeser dari konsep pasar tunggal ke rantai pasok global (global supply chain). Dalam kondisi yang semakin kompleks ini, Indonesia dituntut untuk mengambil langkah strategis yang bijak, adaptif, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Ia juga menekankan bahwa negara-negara, termasuk Indonesia, harus mematuhi regulasi internasional agar tetap relevan dalam arus perdagangan global.
“Ini kondisi yang rumit dan tantangannya tidak mudah. Perdagangan berkelanjutan bukan sekadar wacana, tapi menjadi alat ukur yang semakin penting,” kata Olvy.
Olvy menambahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara Afrika, Indonesia masih dalam posisi lebih baik. Namun, ia mengingatkan bahwa Indonesia tetap berada dalam zona krisis dan tidak bisa bersikap santai.
Dilema Dunia Usaha dalam Isu Keberlanjutan
Kemendag mengaku telah mendengar keluhan pelaku usaha yang menginginkan kepastian profitdalam penerapan praktik keberlanjutan (sustainability). Menurut Olvy, perusahaan tidak bisa hanya diminta menjaga lingkungan tanpa dukungan kebijakan yang memastikan keuntungan ekonomi.
“Pelaku usaha tidak mau hanya berbicara tentang pelestarian tanpa untung. Di sinilah peran negara hadir untuk menyeimbangkan antara keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri menggarisbawahi bahwa kebijakan proteksionisme dari negara-negara besar menjadi hambatan utama dalam mewujudkan perdagangan dan investasi yang terbuka dan berkelanjutan.
“AS, yang selama ini dikenal mendukung ekonomi terbuka, justru menerapkan langkah-langkah unilateral dan proteksionis,” jelas Yose.
Ia mencontohkan kebijakan Presiden Donald Trump yang mengumumkan tarif resiprokal terhadap puluhan negara pada 2 April 2025. Indonesia termasuk dalam daftar negara terdampak, dengan tarif impor dikenakan sebesar 32 persen.
Negosiasi Perdagangan Masih Menggantung
Walau Trump menunda implementasi tarif selama 90 hari sejak 9 April 2025 untuk memberi ruang negosiasi, hingga saat ini nasib Indonesia masih belum pasti. Batas waktu kebijakan penangguhan akan berakhir pada 8 Juli 2025, dan ketidakpastian ini berpotensi berdampak buruk pada arus ekspor Indonesia ke pasar AS.